MAKALAH GEOGRAFI PENGEMBANGAN WILAYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Perencanaan kota dan wilayah menggunakan ilmu geografi untuk membantu
mempelajari bagaimana membangun (atau tidak membangun) suatu lahan menurut
kriteria tertentu, misalnya keamanan, keindahan, kesempatan ekonomi,
perlindungan cagar alam atau cagar budaya, dsb. Perencanaan kota, baik kota
kecil maupun kota besar, atau perencanaan pedesaan mungkin bisa dianggap
sebagai geografi terapan walau mungkin terlihat lebih banyak seni dan pelajaran
sejarah. Beberapa masalah yang dihadapi para perencana wilayah diantaranya
adalah eksodus masyarakat desa dan kota dan Pertumbuhan Pintar (Smart Growth).
Pengembangan wilayah dikembangkan pada sekitar tahun 1980-an oleh para
Geografiwan Eropa, terutama dari Nederland. Saat kerjasama Universitas antar
kedua negara dilakukan, sejumlah ahli Geografi asal Belanda ikut serta dalam
program pencangkokan dosen di UGM. Hasilnya adalah lahirnya program studi baru
bernama Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah. Sebelum berdiri menjadi
disiplin tersendiri yang memadukan Ilmu Geografi dengan Ilmu Perencanaan
Wilayah, proyek ini dikenal dengan nama Rural and Regional Development Planning
(RRDP).
Pada tahun 1950-an, gerakan ilmu wilayah muncul, dipimpin oleh Walter Isard untuk menghasilkan lebih banyak dasar kuantitatif dan analitis pada masalah geografi, sebagai tanggapan atas pendekatan kualitatif pada program geografi tradisional. Ilmu wilayah berisi pengetahuan bagaimana dimensi keruangan menjadi peran penting, seperti ekonomi regional, pengelolaan sumber daya, teori lokasi, perencanaan kota dan wilayah, transportasi dan komunikasi, geografi manusia, persebaran populasi, ekologi muka bumi dan kualitas lingkungan.
Geografi ada karena adanya perbedaan keruangan antara suatu daerah dengan
daerah lainnya. Geografi menjelaskan bagaimana bentuk dan lapisan muka bumi,
bisa berbentuk sedemikian rupa secara sistematis. Juga berkaitan dengan
kegiatan manusia di muka bumi yang berbeda-beda tersebut. Perbedaan Geografi
dengan ilmu-limu lainnya seperti Pertanian, Geologi, dan lainnya adalah dari
pendekatan teorinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsepsi Wilayah Berdasarkan Tipe
Walaupun batasan-batasan yang dikemukakan pada bab I menunjukkan berbagai
variasi, namun bila ditinjau dari golongan besar sebagaimana disebutkan di
muka, kesemuanya hanya mendasarkan pada tipenya saja. Dalam menyoroti arti
dan eksistensi wilayah berdasarkan tipenya, orang akan bertitik tolak pad
aide-ide homogenitas dan heterogenitas. Suatu pandangan tentang eksistensi
wilayah yang mendasarkan pad aide-ide homogenitas, popular dengan istilah formal
regional homogeneous region/uniform region. Dalam hal ini yang penting
adalah keseragaman dari property yang ada dalam wilayah itu, baik secara
sendiri-sendiri (individual) maupun gabungan dari beberapa unsur, dan oleh karena ide-ide
homogenitas sendiri dalam pengenalannya tidak semudah yang tertulis dalam
teori, serta mengingat kesukaran-kesukaran tentang delimitasinya, maka kemudian
timbul ide-ide tentang apa yang disebut dengan core region/wilayah inti
(Alexander,1963).
Dalam membicarakan tentang sesuatu wilayah ditinjau dari ide-ide
homogenitas tersebut, yang dipentingkan bukan semata-mata pengenalan sebatas
mana batas-batas terluar wilayah tertentu, melainkan yang lebih penting lagi
adalah mengenal bagian intinya. Hal ini perlu ditekankan, mengingat karakter
utama sesuatu wilayah tercermin dalam bagian intinya. Daerah inti adalah bagian
dari suatu wilayah yang mempunyai derajat deferensiasi paling besar dengan
wilayah yang lain, sedang batas-batas wilayahnya dalam pandangan ide-ide
homogenitas semata-mata merupakan bagian yang mempunyai derajat deferensiasi
paling kecil atau nol dengan wilayah tetangganya. Oleh karena itu, daerah
peralihan adalah semata-mata merupakan wilayah tersendiri dengan cirri
tersendiri pula.
Pandangan kedua tentang wilayah berdasarkan tipenya adalah mendasarkan pad
aide-ide heterogenitas (Minshull, 1970). Dalam ide-ide heterogenitas
tercermin suatu pola interdependensi dan pola interaksi antara subsistem utama
ecosystem dengan subsistem utama social system. Sedangkan penekanan utamanya menyangkut
segi-segi kegiatan manusia (man’s activities).
Sebetulnya dalam ide-ide yang kedua tersebut tercermin suatu pola ‘unity in
diversity, dengan keberbagaian gejala dalam batas-batas tertentu tercipta suatu
kesatuan hubungan dan pola ketergantungan. Biasanya system yang ada dalam
batas-nbatas wilayah tersebut terkontrol oleh sebuah titik pusat.
Sering pula dikatakan bahwa disamping menekankan pandangan pad aide-ide
heterogenitas, juga menekankan pad aide-ide sentralitas. Untuk menentukan
batas-batas wilayah (delimitation of region) banyak sekali cara yang dapat
digunakan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, atau dapat juga denmgan
generalisasi maupun klasifikasi, atau gabungan dari keduanya.
Ide-ide tersebut
hendaknya diperdalam oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang perencanaan,
sehingga tujuan perencanaan serta konsepsi-konsepsi yang digunakan tidak kabur.
Sebagai pedoman, para pembaca dipersilahkan membaca beberapa literatur yang
disarankan (terlampir dalam Daftar Pustaka).
Oleh karena masalah
penentuan wilayah lebih sukar dalam praktek daripada dalam teori maka
belakangan ini beberapa sarjana mulai mencoba untuk menentukan batas-batas luas
dari masing-masing rank dihubungkan dengan besar-kecilnya skala yang digunakan
untuk tujuan perencanaan.
B. Konsepsi Wilayah Berdasarkan Kategori
Berdasarkan kategorinya,
wilayah dapat mempunyai realisasi yang bermacam-macam. Penggolongan yang umum
digunakan dalam regionalisasinya adalah : single topic region (wilayah bertopik
tunggal), combined topic region (wilayah bertopik region), multiple topic
region (wilayah bertopik banyak), total region (wilayah total), dan compage.
Single topic region adalah suatu wilayah yang eksistensinya didasarkan pada satu macam topic
saja. Bila ditinjau dari tipenya, wilayah ini dapat merupakan wilayah formal
ataupun wilayah fungsional. Jenis wilayah kedua yang ditinjau dari kategorinya adalah combined topic
region. Sekilas eksistensi wilayah yang kedua ini sama dengan yang tersebut
pertama, tetapai sebetulnya terdapat perbedaan penting diantara keduanya.
Wilayah yang dibentuk seagai realisasi gabungan beberapa topik, tentu saja
berbeda dengan yang hanya mendasarkan pada satu topik saja. Topik-topik yang
dibicarakan di sini adalah termasuk dalam cakupan topik yang lebih besar.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, suatu wilayah yang dihasilkan dari delimitasi
atau curah hujan saja akan menghasilkan wilayah dengan satu topik saja (single
topic region), sedangkan delimitasi regional yang mendasarkan pada gabungan
dari beberapa topic seperti data curah hujan, masa hawa, temperature, dan
tekanan udara dalam jangka panjang akan menghasilkan wilayah-wilayah iklim yang
mempunyai karakteristik berbeda-beda. Wilayah dalam perwujudan seperti terakhir
ini disebut combined topic region. Contoh ini diharapkan dapat diekstrapolasi
sendiri dalam bidangnyua masing-masing.
Kategori yang ketiga, multiple topic region, adalah suatu wilayah
yang eksistensinya mendasarkan pada beberapa topik yang berbeda satu sama lain. Secara bebas dapat
dikatakan bahwa dalam combined topic region mendasarkan pada unsur-unsur dari
satu topik, sedangkan pada multiple topic region mendasarkan pada beberapa
topic yang berbeda-beda tetapi masih berhubungan satu sama lain. Hal ini
biasanya diarahkan pada tujuan-tujuan yang lebih luas sifatnya. Sebagai contoh
untuk mengevaluasi sesuatu daeraah untuk daerah pertanian, maka faktor-faktor
yang berhubungan dengan pertanian digunakan sebagai dasar untuk delimitasinya.
Faktor-faktor itu antara lain me;liputi data tentang iklim, keadaan tanah,
hidrologi, geomorfologi dan lain-lain yang dianggap memegang peranan penting
dalam masalah pertanian. kombinasi dari berbagai topik tersebut akan menentukan
timbulnya multiple topic region.
Beberapa sarjana, kadang-kadang mempunyai pendapat yang berbeda-beda
tentang kategori yang ketiga tersebut. Sedangkan istilah lain dari multiple
topic region adalah ‘multiple feature region. Di samping mendasarkan
pada topik-topikdalam delimitasi wilayah dapat pula mendasarkan pada
topik-topik yang tidak berhubungan dengan erat. Sebagai contoh dapat
dikemukakan di sini tentang eksistensi wilayah ekonomi (economi region);
dasar-dasar delimitasinya tidak semata-mata pada faktor-faktor ekonomi, tetapi
faktor-faktor nonekonomi pun perlu dipertimbangkan.
Kategori yang ke empat adalah total region.
Dalam hal ini semua unsure wilayah tercakup dalam delimitasinya.
Regionalisasinya bersifat klasik, dimana kesatuan politik digunakan sebagai
dasarnya.
Keuntungan total region terletak pada pelaksanaannya,
terutama ditinjau dari segi administrative conrinience-nya. Namun
pendekatan wilayah (region approach) yang mendasarkan pada cara-cara klasik
tersebut lebih banyak menimbulkan kesulitan daripada kemudahannya. Hal ini
semata-mata karena berhubungan dengan keluasaan masalah yang harus dicakup.
Untuk keperluan perencanaan, konsep-konsep seperti ini selalu dihindarkan
mengingat derajat homogenitas gejkala biasanya sangat kecil. Yang menjadi bahan
bahasan terakhir adalah konsepsi wilayah yang disebut compage. Dalam ide
ini bukan banyak sedikitnya topik yang menjadi pertimbangan utama, melainkan
menonjolnya aktivitas manusia yang di sesuatu tempat yang menjadi dasar
delimitasinya. Orientasi tidak lagi menitikberatkan pada physical setting-nya,
melainkan bobot kegiatan manusia ditinjau dari kepentingan local maupun
nasional. Hal terakhir ini tentu saja tidak terlepas dari usaha melestarikan
dan mengembangkan sumber daya lingkungan.
C.
Pengertian Pewilayahan
1. Purnomo Sidi (1981) mengatakan bahwa wilayah adalah sebutan untuk
lingkungan permukaan bumi yang jelas batasannya.
2.Imanuel Kaant (1982) mengatakan wilayah adalah sesuatu ruang di permukaan
bumi yang mempunyai spesifik dan dalam aspek tertentu berbeda antara dua titik
dalam garis lurus.
Pewilayahan dalam suatu program perencanaan memegang
peranan yang sangat penting, sehingga mutlak perlu dipahami oleh para
perencana. Hal ini antara lain karena pewilayahan sangat berguna untuk
mengetahui variasi karakter dalam suatu wilayah tertentu.
Pewilayahan adalah usaha untuk membagi-bagi permukaan
bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula.
Pembagiannya dapat mendasarkan pada criteria-kriteria tertentu seperti
administrative, politis, ekonomis, sosial, cultural, fisis, geografis, dan
sebagainya.
Pewilayahan di Indonesia berhubungan erat dengan
pemerataan pembanguynan dan mendasarkan pembagiannya pada sumberdaya-sumberdaya
local, sehingga prioritas pembangunan dapat dirancang dan dikeloila
sebaik-baiknya.
Pewilayahan untuk
perencanaan pengembangan wilayah di Indonesia bertujuan untuk :
1. menyebar-ratakan pembangunan sehingga dapat dihindarkan adanya pemusatan
kegiatan pembangunan yang berlebih-lebihan di daerah tertentu,
2. menjamin keserasian dan koordinasi antara berbagai kegiatan pembangunan
yang ada di tiap-tiap daerah,
3. memberikan pengarahan kegiatan pembangunan, bukan saja pada para
aparatur pemerintah, baik pusat maupun daerah, tetapi juga kepada masyarakat
umum dan para pengusaha (Hariri Hady, 1974).
Pewilayahan ditinjau
dari berbagai negara mempunyai corak/ragam yang bermacam-macam. Hal ini
dikarenakan masing-masing negara memiliki present problems yang memang
sangat bervariasi.
Konsep Wilayah dan Perwilayahan
A.
Pengertian
Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara kompleks lahan, air udara flora .fauna dan manusia .
Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara kompleks lahan, air udara flora .fauna dan manusia .
Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau
menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh
batas-batas kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan
setelah masa kolonialisme,
batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah tersebut, dan
berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah yang lebih umum digunakan adalah batas nasional.
Perwilayahan adalah usaha untuk membagi permukaan bumi tertentu dan tujuan tertentu pula .
Perwilayahan adalah usaha untuk membagi permukaan bumi tertentu dan tujuan tertentu pula .
B . Identifikasi perbedaan wilayah formal dan fungsional
1. Wilayah formal adalah wilayah yang mempunyai kenampakan
yang sama
- Wilayah Formal
Merupakan suatu wilayah yang dicirikan berdasarkan keseragaman atau
homogenitas tertentu. Oleh karena itu, wilayah formal sering pula disebut
wilayah seragam (uniform region). Homogenitas dari wilayah formal dapat
ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau alam ataupun kriteria sosial budaya.
Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik didasarkan pada kesamaan topografi,
jenis batuan, iklim dan vegetasi. Misalnya wilayah pegunungan kapur (karst), wilayah beriklim dingin, dan wilayah vegetasi mangrove. Adapun wilayah formal berdasarkan kriteria sosial budaya seperti wilayah
suku Asmat, wilayah industri tekstil, wilayah Kesultanan Yogyakarta, dan wilayah pertanian sawah basah.
2. Wilayah fungsional adalah wilayah yang memiliki keaneka
ragaman
- Wilayah Fungsional
Merupakan suatu wilayah yang di dalamnya terdapat banyak hal yang diatur
oleh beberapa pusat kegiatan yang satu sama lain saling berhubungan misalnya
kota terdapat berbagai pusat kegiatan mulai dari CBD, perkantoran, pasar dan seterusnya yang satu sama lain dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Wilayah fungsional lebih bersifat dinamis dibandingkan dengan wilayah
formal.
D. Prinsip-Prinsip Pewilayahan
Secara garis besar
metode pewilayahan dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, yaitu :
- Golongan pertama : Penyamarataan wilayah (Regional Generalization)
- Golongan kedua : Klasifikasi wilayah (Regional Classification)
a. Penyamarataan Wilayah (Regional Generalization)
Penyamarataan wilayah
(generalisasi regional) adalah suatu proses/usaha untuk membagi permukaan bumi
atau bagian dari permukaan bumi tertentu menjadi beberapa bagian dengan cara
mengubah atau menghilangkan faktor-faktor tertentu dalam populasi yang dianggap
kurang penting atau kurang relevan, dengan maksud untuk menonjolkan
karakter-karakter tertentu. Walaupun pengertian penyamarataan itu sendiri
memberi kesan yang bersifat kualitatif, namun dalam pelaksanaannya dapat pula
dikerjakan secara kuantitatif.
Dalam mengadakan
generalisasi regional, perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain sebagai
berikut.
b. Skala Peta
Oleh karena masalah skala merupakan faktor yang sangat penting dalam
perpetaan, maka dalam generalisasi derajat generalisasinya pun dipengaruhi oleh
besar-kecilnya skala yang digunakan dalam peta yang bersangkutan. Suatu studi
wilayah yang detail menghendaki ketelitian dan ketepatan pengukuran-pengukuran
yang dilakukan dilapangan. Dalam hal ini umumnya peta-peta berskala besar
digunakan untuk visualisasi data. Daerah survey pada taraf ini biasanya tidak
meliputi daerah yang terlalu luas. Tentu saja, untuk generalisasi regional yang
meliputi daerah luas, dengan sendirinya akan menggunakan peta-peta yang
berskala kecil.
Akibat yang timbul dari penggunaan skala-skala peta yang berbeda-beda
tersebut adalah sebagai berikut :
1) makin besar skala peta yang digunakan (makin detail features yang
diamati), akan makin kecil derajat penyamarataan wilayah yang dilakukan;
2) makin kecil skala yang digunakan (makin tidak detail features
yang diamati), akan semakin besar derajat penyamarataan wilayah yang dilakukan.
(James, 1952).
c. Tujuan Pewilayahan
Tujuan pewilayahan akan mempengaruhi derajat generalisasi yang dilakukan.
Untuk pemetaan tata guna tanah misalnya, akan mempunyai derajat geeralisasi
yang lebih kecil dianding dengan generalisasi regional untuk tujuan analisis
klimatologis. Hal ini banyak dipengaruhi oleh ‘visual features’ yang ada dalam
penelitian yang dimaksud.
Untuk ‘visual data’ akan mengalami derajat
generalisasi yang lebih kecil disbanding dengan ‘unvisual data’, dengan
pengertian bahwa faktor-faktor lain adalah sama.
d. Delemitasi dalam Generalisasi regional
Masalah-masalah yang
selalu dihadapi oleh para cendikiawan dibidang perencanaan pengembangan wilayah
(regional develo9pment planning) dalam hubungannya dengan pewilayahan adalah
‘delimitasi regional’. Seorang perencana haruslah mempunyai keahlian di bidang
ini, sehingga regionalisasi yang dilakukan betul-betul mewakili sejumlah property
yang ada dalam sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu.
Delimitasi adalah
cara-cara penentuan batas terl;uar sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu. Dalam
generalisasi regional, delimitasi dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1) generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara
kualitatif
2) generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara
kuantitatif.
e.
Delimitasi Kualitatif dalam Generalisasi Wilayah
Sifat-sifat yang ada dalam suatu wilayah ditinjau secara menyeluruh akan
menimbulkan image tentang kenampakan-kenampakan yang menyolok dari
wilayah tersebut. Dengan kata lain, kenampakan-kenampakan yang dominant pada
sesuatu tempat akan memberi kesan yang lebih menyolok tentang wilayah yang
bersangkutan. Suatu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa di permukaan bumi ini tidak
ada satu daerah pun yang mempunyai karakteristik-karakteristik yang sepenuhnya
identik.
Masing-masing daerah
tersebut secara konseptual akan dibatasi oleh suatu garis pemisah/garis batas.
Masalah garis batas ini selalu menjadi bahan diskusi yang menarik di kalangan
para cendikiawan. Hal ini disebabkan pada hakekatnya garis pemisah tersebut
bukan merupakan batas yang tegas antara wilayah yang satu dengan yang lainnya,
tetapi lebih merupakan suatu wilayah peralihan (zone of transition) antara dua
kenampakan yang berbeda. Jalur wilayah yang mempunyai deferensiasi kenampakan
paling kabur adalah ‘zone of transition’ tersebut, sedangkan bagian wilayah
yang mempunyai deferensiasi kenampakan paling tegas adalah core region (Alexander,
1963).
Dalam konsepsi wilayah inti ini ditekankan bahwa arti penting suatu wilayah
bukan terletak pada batas-batasnya, melainkan terletak pada bagian intinya. Hal
ini dikarenakan wilayah inti dianggap sebagai bagian yang betul-betul mewakili
(representative) terhadap sesuatu wilayah. Ide-ide ini sangat menentukan
baik-tidaknya suatu penelitian, karena angat berhubungan dengan teknik-teknik
penentuan pemilihan ‘area sampel’ dalam penelitian tertentu.
Delimitasi kualitatif dalam generalisasi regional banyak dikerjakan dalam
interpretasi foto udara maupun dalam ERTS imagery. Delimitasi kenampakan
yang dijalankan berdasarkan pada rona (tone), tekstur, dan pola yang ada dalam
foto udara yang bersangkutan ataupun dalam ERTS imagery. Dalam hal ini
delimitasi kualitatif lebih menguntungkan dan dapat lebih terpercaya disbanding
delimitasi yang mendasarkan pada peta-peta garis (line maps). Untuk
daerah-daerah yang sempit dapat digunakan foto udara dan untuk daerah0daerah
yang luas dapat digunakan ERTS imagery. Contoh tentang ide delimitasi kualitatif dal;am regionalisasi wilayah
adalah pembagian Indonesia ke dalam beberapa wilayah pembangunan (Hariry
Hady, 1974). Dalam hal ini Indonesia dibagi-bagi kedalam sepuluh wilayah
pengembangan, yaitu :
1) Wilayah Pengembangan Utama A, dengan pusat utamanya Medan yang terdiri
dari :
- Wilayah pembangunan I, meliputi pro[insi Aceh dan Sumatera Utara.
- Wilayah pembangunan II, meliputi propinsi Sumatera Barat dan Riau.
2) Wilayah Pembangunan Utama B, dengan pusat utamanya Jakarta Raya, yang
terdiri dari :
- Wilayah pembangunan III, meliputi propinsi Jambi, propinsi Sumatera
Selatan, dan propinsi Bemngkulu;
- Wilayah pembangunan IV, meliputi propinsi Lampung, Jakarta Raya, Propinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta;
- Wilayah pembangunan VI, meliputi propinsi Kalimantan Barat.
3) Wilayah Pembangunan Utama C, denganm pusat utamanya Surabaya, yang
terdiri dari :
- Wilayah pembangunan V, meliputi propinsi Jawa Timur dan pulau Bali.
- Wilayah pembangunan VII, meliputi propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, dan propinsi Kalimantan Timur.
4) Wilayah Pembangunan Utama D, dengan pusat utamanya Ujung Pandang, yang
terdiri dari :
- Wilayah pembangunan VIII, meliputi propinsi Nusa Tenggara Barat minus
pulau Bali, Nusa Tenggara Timur, propinsi Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah,
- Wilayah pembangunan IX, meliputi propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Utara,
- Wilayah pembangunan X, meliputi propinsi Maluku dan propinsi Irian Jaya.
Gagasan pembagian wilayah pembangunan tersebut terutama bertujuan untuk
memperkuat kesatuan ekonomi nesional yang utuh. Inter-relationship dan
inter-dependency antara daerah pengembangan menjadi pertimbangan utama di
samping adanya potensi daerah yang menonjol.
Penggunaan delimitasi wilayah kualitatif dalam generalisasi mengandung
sejumlah kelemahan. Hal ini disebabkan oleh cara memisah-misahkan wilayah yang
satu dengan yang lain semata-mata mendasarkan pada pengamatan yanmg bersifat
kualitatif. Karena itu, delimitasi kualitatif sebetulnya hanya cocok diterapkan
‘pre-planning period’, dimana gambaran umum tentang sesuatu wilayah diperlukan
untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan langkah-langkah selanjutnya yang
lebih konkrit dan tegas.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini tentang salah satu kelemahan
penggunaan delimitasi kualitatif dalam generalisasi regional tersebut. Masalah yang pertama
berkaitan dengan pemasukan beberapa wilayah ke dalam unit pembangunan yang
sama. Dalam unit wil;ayah pembangunan IV misalnya, dimasukkannya daerah Lampung
dan sekitarnya kedalam unit wilayah pembangunan yang juga meliputi Jawa Barat
dan Jawa Tengah, jelas terlalu mendasarkan pada kriteria yang sifatnya
kualitatif. Kriteria-kriteria kualitatif ini jelas akan mengundang berbagai
masalah yang sangat menyulitkan dan perlu dipecahkan, terutama berkaitan dengan
derajat ketelitian dan derajat konsistensinya.
Masalah yang kedua berkaitan dengan penentuan batas masing-masing wilayah
pembangunan. Sebagai contoh dapat dikemukakan, batas antara wilayah pembangunan
II dan wilayah pembangunan III, terlalu sulit dimengerti. Hal ini akan
merupakan sumber persoalan yang serius pada bagian-bagian batas di daratan,
karena gap antara garis yang satu dengan garis yang lain tidak sekedar
jalur sempit (transition zone) saja, tetapi meliputi daerah yang cukup luas
untuk dapat disebut sebagai batas. Lain halnya dengan gap yang terletak di
daerah perairan, tentunya tidak akan menimbulkan masalah sedemikian besar
seperti di daerah daratan, karena secara fisik tidak akasn menimbulkan akibat
yang berarti.
Akhirnya perlu ditegaskan; untuk tujuan pewilayahan yang mendalam, teknik
delimitasi kualitatif dalam generalisasi wilayah seyogyanmya tidak digunakan.
f. Delimitasi
Kuantitatif dalam Generalisasi Wilayah
Delimitasi yang dikerjakan pada golongan yang kedua ini tidak semata-mata
menggunakan parameter-parameter yang sifatnya kualitatif, melainkan lebih
ditekankan pada parameter-parameter yang sifatnya kuantitatif. Data yang digunakan
sebagai dasar untuk generalisasi diambilkan dari berbagai bidang. Dari data
yang terkumpul kemudian dituangkan kedalam peta, dan akhirnya akan memberikan
gambaran penyebaran data tersebut dalam hubungannya dengan ruang.
Salah satu contoh yang sederhana dalam hal ini adalah pewilayahan
klimatologis yang dikerjakan oleh U. S. Weather Beureau. Dalam
delimitasinya, badan ini mendasarkan regionalisasi pada lokasi station-station
meteorologi yang tersebar di seluruh daerah. Dengan menghubungkan beberapa
titik (dalam hal ini diwakili oleh station-station meteorologi tersebut),
kemudian dibuat garis-garis berat dari masing-masing garis penghubung antara
dua station. Maka akan diperoleh wilayah-wilayah klimatologi dengan batas-batas
garis berat, dengan station meteorologi sebagai pusatnya, dan wilayah tersebut
berupa bentuk yang terkenal dengan sebutan polygon. Cara ini mendasarkan pada
teknik pembuatan polygon seperti dikemukakan oleh Thiesen dan dikenal dengan
sebutan Thiesen Polygon (Haggett, 1970).
Prinsip regionalisasi di atas dapat dilihat dalam gambar 10.
Teknik-teknik yang telah dijelaskan di muka dapat dilakukan atas data yang
bermacam-macam dengan temapt tertentu dianggap sebagai ‘core region’. Sedangkan
contoh teknik lain yang mendasarkan criteria delimitasi seperti tersebut
diatas, terkenal dengan Railly’s Law (Nelson, 1958).
Yang dikerjakan dalam Railly’s Law adalah mencari jarak jangkau pengaruh
sesuatu pusat kegiatan. Railly’s Law juga terkenal dengan istilah Law or
Retail G ravitation, karena pertama-tama teknik ini diterapkan untuk
memeplajari ‘retailing’. Dalam treknik ini dilakukan delimitasi kuantitatif
dari generalisasi wilayah tertentu atas dasar kekuatan tarik-menarik pengaruh
dari dua pusat kegiatan.
Limit antara dua titik pengaruh kemnudian dihubung-hubungkan dan akan
terdapat kesatuan-kesatuan wilayah yang dihasilkan secara kuantitatif. Suatu
hal yang tidak dapat dipungkiri dalam hal ini adalah bahwasanya dalam
batas-batas tertentu derajat generalisasinya masih tampak besar. Dengan adanya kemajuan
dibidang elektronika pada akhir abad ini, diikuti pula oleh kemajuan di bidang
teknik-teknik menghitung secara elektronis, maka alat hitung elektronik
(computer) mulai diterapkan pula dalam teknik-teknik pewilayahan. Keuntungan
yang menyolok dari penggunaan alat ini adalah kerjanya yang cepat dan derajat
konsistensinya yang tinggi. Dalam hal ini penyebaran data dicerminkan dalam
data yang diolah dengan computertersebut. Delimitasi wilayah dapat dikerjakan
dengan jalan mendelimitasi batas-batas antara penyebaran jenis-jenis data yang
berlain-lainan.
Dari penyebaran data
seperti ditunjukkan pada gambar 12, dapat terlihat deferensiasi data
berdasarkan symbol-simbol yang dipakai dalam peta computer tersebut. Deliniasi
dapat dikerjakan dengan mudah berdasarkan penyebaran symbol-simbol tersebut
yang mewakili property tertentu.
Oleh karena elektronis setiap data dapat diolah dengan
suatu program tertentu, maka regionalisasinya dapat disesuaikan dengan tujuan
tertentu tersebut. Walaupun sifat generalisasinya masih tampak, tetapi unsur
ketelitiandan reabilitas regionalisasinya lebih dapat dipertahankan. Dalam hal
ini seorang perencana dapat dengan mudah mengadakan identifikasi wilayah dan
sekaligus mengadakan demlimitasi wilayah atas property tertentu (Lawrence,
1971).
g. Klasifikasi Wilayah
Secara etimologis
pengertian klasifikasi adalah metode untuk mengatur data secara sistematis
menjadi golongan-golongan atau beberapa bagian yang dalam hal ini dapat berupa
grup, klas, atau keluarga (Webster, 1966).
Klasifikasi wilayah
adalah usaha untuk mengadakan penggolongan wilayah secara sistematis ke dalam
bagian-bagian tertentu berdasarkan property tertentu. Penggolongan yang
dimaksud haruslah memperhatikan keseragaman sifat dan memperhatikan semua
individu. Semua individu yang ada dalam populasi mendapat tempat dalam
golongannya masing-masing. Usaha untuk mengubah atau mengeliminir
(menghilangkan) data seperti yang terjadi dalam proses generalisasi, tidak
terdapat dalam klasifikasi.
Tujuan utama
klasifikasi adalah tidak untuk menonjolkan sifat tertentu dari sejumlah
individu, melainkan mencari defferensiasi antar golongan. Cara-cara yang dapat
dikerjakan dalam klasifikasi dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Secara garis besar,
klasifikasi dapat diperbedakan ke dalam dua golongan, yaitu klasifikasi yang
bertujuan u7ntuk mengetahui deferensiasi jenis dan klasifikasi yang bertujuan
untuk mengetahui deferensiasi tingkat.
h. Deferensiasi Jenis dalam Klasifikasi Wilayah
Dalam program-program
perencanaan, deferensiasi jenis sangat penting. Hal ini terutama dilakukan
untuk mendapat gambaran tentang sifat sesuatu wilayah yang ada. Defeerensiasi jenis
kebanyakan dilakukan secara kualitatif. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini
tentang usaha klasifikasi wilayah yang mendasarkan pada penyebaran tata guna
tanahnya. Dari data tata-guna tanah yang ada dapat digambarkan tentang
wilayah-wilayah yang berbeda-beda dengan masing-masing karakteristiknya. Sampai
pada batas-batas tertentu, derajat generalisasi yang ada dalam cara ini masih
tampak, walaupun tidak besar. Makin teliti suatu klasifikasi, akan memberikan
informasi yang makin baik.
Cara tersebut banyak
diterapkan pada survai yang menggunakan foto udara sebagai alat analisisnya. Dari
kenampakan foro garis dapat ditentukan batas-batas penggu7naan tanah (land
cover)-nya dengan jelas.Beberapa sarjana menganggap bahwa klasifikasi jenis itu
tidak lain adalah generalisasi, walaupun sebenarnya antara keduanya mempunyai
perbedaan yang sangat menyolok.
i.
Deferensiasi Tingkat dalam Klasifikasi Wilayah
Deferensiasi tingkat ini dapat digolongkan ke dalam
dua metode, yaitu :
Ø Metode Interval (Interval Method)
Oleh karena
regionalisasinya didasarkan atas dasar statistic, sifat utamanya adalah kuantitatif.
Yang perlu diperhatikan dalam deferensiasi tingkat ini adalah
parameter-parameter klas yang digunakan untuk dasar penggolongan. Semakin
banyak klas-klas yang dibentuk dalam deferensiasinya, atau makin kecil interval
yang digunakan sebagai dasar penggolongan, akan semakin banyak informasi yang
dapat disadap dari data yang bersangkutan (Robinson A. H. & R. D. Sale,
1969).
Salah satu contoh deferensiasi tingkat dengan
menggunakan metode interval adalah sebagai berikut. Dari penyebaran data secara
keruangan tidak treratur, dapat diperoleh suatu sistematika penyebaran data
dengan mendasarkan pada interval tertentu. Dari masing-masing klas dapat dibuat
batas-batasnya. Seperti diterangkan dimuka, makin kecil interval atau makin
klas yang ada, akan makin mencerminkan tingkat ketelitian yang makin tinggi.
Ø Metode Hirarkhis (Hirarchical Method)
Dalam klasifikasi ini
masing-masing klas mempunyai hubungan dengan klas-klas di bawahnya atau di
atasnya, karena orde yang lebih tinggi merupakan gabungan dari klas yang
dibawahnya (Chorley & Haggett, 1970).
Secara diagramatis pembagian klas dengan metode
hirarkhis adalah seperti terlihat pada. Salah satu contoh regionalisasi yang menggunakan metode tersebut seperti
dikemukakan oleh Linton dalam karangannya yang berjudul The Delimination
of Morphological Region (1949)
Di bidang-bidang lain metode tersebut banyak pula diterapkan walaupun
dengan peristilahan yang berbeda-beda, seperti yang dikemukakan oleh Fennemenn
(1916), Unstead J.F. (1933), Whittlesey D. (1956), Weaver (1954), dan Singh
Harpal (1965).
Dari uraian tentang pewilayahan yang serba singkat dimuka, dapat ditarik
beberapa kesimpulan, antara lain :
1) Generalisasi
regional (penyamarataan wilayah) mempunyai arti yang penting dalam prosdes
perencanaan wilayah, terutama dalam tahap pengenalan wilayah (reconnaissance of
the area), atau dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa dalam ‘pre-planning
period’ teknik ini memegang peranan yang utama karena berhubungan erat dengan
penentuan prioritas pembangunan.
2) Dalam tahap
perencanaan yang berikutnya (planning period) lebih kena bila menggunakan
teknik-teknik klasifikasi wilayah.
3) Delimitasi
kuantitatif lebih memudahkan para perencana dalam mengerjakan pewilayahan
karena derajat konsistensinya lebih mudah dipertahankan.
4) Untuk mengerjakan
usaha pewilayahan dengan cepat, tepat, dan konsisten sangat dianjurkan
menggunakan computer.
C . Identifikasi pusat pertumbuhan
1 . Pengertian
Pusat pertumbuhan adalah kawasan yang mempunyai pertumbuhan sangat
pesat di segala bidang yang dapat mempengaruhi kawasan sekelilingnya.
2. Teori pusat pertumbuhan
a. Teori tempat sentral oleh W. Christaller
bahwa suatu lokasi pusat aktivitas yang senantiasa melayani
berbagai kebutuhan penduduk harus terletak pada suatu tempat yang sentral.
b. Teori kutub pertumbuhan oleh Perroux
bahwa kutub pertumbuhan merupakan fokus dalam wilayah ekonomi yang
abstrak yang memancarkan kekuatan sentrifugal dan sentripetal yang menarik
c. Teori polarisasi oleh Gurnal Myrdal
Bahwa setiap daerah mempunyai pusat pertumbuhan memiliki daya tarik
terhadap tenaga buruh dan daerah pinggiran
d. Faktor yang mempengaruhi pusat pertumbuhan
1. Faktor alam : iklim, tanah, air,mineral
2. Faktor budaya : iptek, industri, sarana transportasi
3. Faktor sosial : pendidikan, kesehatan
Konsep Dasar Perwilayahan
2.1. Pengertian Wilayah
Wilayah dapat dilihat
sebagai suatu ruang pada permukaan bumi, pengertian permukaan bumi menunjuk
pada suatu tempat atau lokasi yang dilihat secara horizontal dan vertikal.
Wilayah sering dibedakan artinya dengan kata daerah atau kawasan. Wilayah dapat
diartikan sebagai satu kesatuan ruang yang mempunyai tempat tertentu tanpa
terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya. Atau juga wilayah dapat
diartikan, suatu areal yang memiliki karakteristik arela bisa sangat kecil
maupun sangat besar, suatu wilayah diklasifikasikan berdasarkan satu atau
beberapa karekteristik, misalnya berdasarkan iklim, relief dipebatuan, pola
pertanian, tumbuhan alami, kegiatan ekonomi dan sebagainya.
2.2.Wilayah Formal dan Wilayah Fungsional
Glasson (1974), Budi
Harsono (1996), dan Huesmen (1986) mengatakan bahwa wilayah dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu wilayah formal (formal region atau mogenous regoins) dan
wilayah fungsional (Functional region atau nodul region).
a) Wilayah formal adalah wilayah yang dipandang dari
satu aspek tertentu yang mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri yang relatif sama.
Kriteria pokok yang digunakan antar wilayah dapat berbeda tergantung dasar atau
tujuan pengelompokannya. Kriteria tersebut dapat berupa aspek fisik seperti
1 ketinggian, bentuk lahan, dan curah hujan, kegiatan ekonomi (daerah
pertanian), peternakan, industri dan sebagainya. Jadi pada wilayah seragam
terdapat keseragaman atau kesamaan dalam kriteria tertentu.
b) Wilayah fungsional adalah suatu wilayah yang
mempunyai ketergantungan antara daerah pusat dengan daerah belakangnya atau
suatu wilayah yang dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang
saling dihubungkan dengan garis melingkar (daerah belakangnya). Oleh karena
itu, pada wilayah gundul terdapat pengertian tentang kaitan fungsional antara
pusat kegiatan. Wilayah seperti ini disebut wilayah fungsional. Contohnya
wilayah kota dengan wilayah belakangnya. Lokasi produksi dengan wilayah
pemasarannya, susunan orde perkotaan dan jalur transportasi.
2.3. Perwilayahan secara Formal dan Fungsional
Perwilayahan ialah
suatu proses dilineasi atau pembatasan suatu wilayah. Apabila kriteria yang
dijasikan dasar mendelineasi sederhana misalnya kepadatan penduduk, maka
pendelineasian akan mudah. Jika kriteria yang digunakan berpariasi,
perwilayahan menjadi agak rumit. Perwilayahan dibagi menjadi dua :
1. Perwilayahan secara formal
Tujuan perwilayahan formal adalah untuk mengetahui
wilayah mana yang homogen atau seragam. Teknik yang bisa digunakan pendelineasian
wilayah formal adalah metode nilai bobot indeks. Metode ini digunakan untuk
mendelineasi wilayah berdasarkan lebih dari satu kriteria
2. Perwilayah secara fungsional
Pembatas suatu wilayah secara fungsional menyangkut
pengelompokan beberapa unit wilayah yang memiliki tingkat kepentingan hubungan.
Dengan demikian wilayah fungsionallebih menekankan pada arus hubungan dengan
titik pusat. Pendekatan untuk perwilayah fungsional dilakukan dengan analisis
aliran barang atau orang. Pada analisis ini wilayah fungsional berdasar pada
arah dan intensitas aliran barang atau orang antara titik pusat dan wilayah
sekitarnya. Pada umumnya aliran lebih intensif untuk wilayah yang jauh dari
pusat. Luas daerah pengaruh pusat adalah sampai pada tempat arus aliran. Aliran
itu bisa dalam beberapa bentuk. Dalam bidang ekonomi bisa berupa barang,
penumpang atau jalan. Dalam bidang sosial seperti arus siswa atau pasien di
rumah sakit. Bidang politik terutama arus belanja negara. Bidang informasi
seperti surat telegram, surat kabar, telepon dan lain-lain. Variasi dari
analisis aliran barang atau orang adalah teori grafik. Pendekatan ini masih
sederhana tapi merupakan cara yang lebih berstruktur dan sistematis untuk
identifikasi wilayah fungsional atau wilayah modal.
2.4. Contoh Menidentifikasi Wilayah Formal dan Fungsional
a. Contoh mengidentifikasi wilayah formal
Sesuai dengan
pengertian di atas, wilayah formal adalah wilayah yang dipandang dari suatu
aspek tertentu mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri yang relatif sama. Kriteria
pokok yang digunakan antar wilayah dapat berbeda bisa berupa spek fisik, iklim
dan ekonomi, untuk membuat perwilayahan diperlukan data atau atlas dengan data
tertentu dari wilayah tersebut. Hal ini desibebkan peta tanpa disertai suatu
data tidak akan dapat untuk membuat peta tematik perwilayahan. Misalnya untuk
dapat membuat peta ekonomi wilayah diperlukan data kegiatan ekonomi. Demikian
pula untuk membuat peta topografi wilayah diperlukan data kantor.
b. Contoh mengidentifikasi wilayah fungsional
Wilayah fungsional
adalah suatu wilayah yang memopunyai ketergantungan antara daerah pusat dengan
daerah belakangnya. Dengan kata lain, suatu wilayah fungsional dalam banyak hal
diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis melingkar.
Contohnya wilayah kota dengan wilayah belakangnya, lokasi produksi dengan
wilayah pemasarannya dan sebagainya.
2.5. Perwilayahan Berdasarkan Penomena Geografis di Lingkungan Setempat
Perwilayahan berdasarkan penomena geografis dapat dilihat dari
beberapa aspek :
a. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan di
Indonesia dikenal pembagian wilayah kekuasaan pemerintahan, seperti propinsi,
kabupaten, kecamatan, desa dan dusun.
b. Berdasarkan kesamaan kondisi di sini yang paling
umum adalah kesamaan kondisi fisik. Contohnya Jawa Tengah di bagian atas pantai
timur pegunungan dan pantai barat.
c. Berdasarkan ruang limgkup pengaruh ekonomi perlu
ditetapkan terlebih dahulu beberapa pusat pertumbuhan yang ciri-ciri sama
besarnya dan rankingnya. Kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap
pusat pertumbuhan. Contohnya batas pengaruh satu kota dengan kota lainnya hanya
dapat dilakukan untuk kota yang sama rankingnya.
d. Berdasarkan wilayah perencanaan atau program dalam
pembagian ini ditetapkan batas-batas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena
suatu program atau proyek. Contohnya DAS Bengawan Solo, DAS Berantas dan DAS
Serayu.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, dkk. (2006) wilayah
dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu
dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi
secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan
pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya
buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk- bentuk kelembagaan. Dengan
demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan
sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis
tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik mengenai tipologi wilayah,
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu (1) wilayah
homogeny (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)
wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan
klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase
kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi 3, yaitu
sebagai berikut.
1. Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman /
homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut
kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik.
2. Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan
interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah
tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri
dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional
saling berkaitan.
3. Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau
kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis
yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal
dari bahasa Arab “wālā-yuwālī-wilāyah” yang mengandung arti dasar “saling
tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”.
Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud
dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelegasian unit geografis
berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong
menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya.
Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan /
pembangunan / development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata
kunci, yaitu (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4)
kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah
wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah
tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa
sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar
(2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah
yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang
berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi
wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami
evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada
pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan
pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan
dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable
development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat
beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model ekonomi
berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002). Menurut Direktorat
Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah
adalah sebagai berikut.
1. Sebagai growth center, pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
1. Sebagai growth center, pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).
Materi - Vkonsep Wilayah Dan Pusat Pertumbuhan
A. Standar Kompetensi: Kemampuan menganalisis gejala sosial di muka bumi, interaksinya, dan
pengaruhnyaterhadap kehidupan dan
perkembangan wilayah
B. Kompetensi Dasar : Kemampuan menerapkan konsep dasar perwilyahan
C. Indikator: Membedakan wilayah formal dan fungsional (nodal)2. Membuat perwilayahan
berdasarkan fenomena geografis di lingkungan setempat3. Mengidentifikasi
pusat-pusat pertumbuhan4. Memberi contoh perwilayahan secara formal dan
fungsional5. Menentukan batas wilayah pertumbuhan.
D. Konsep Wilayah dan
Pusat Pertumbuhan
1. Pengertian
Wilayah formal dicirikan oleh sesuatu yang dimiliki atau melekat pada
manusia danalam secara umum, misalnya tipe iklim, bentuk lahan, kebangsaan,
budaya, dll.Kesatuan ideologi seperti negara, bangsa dan provinsi adalah
wilayah formal karenaditentukan oleh identitas politik, wilayah formal dapat
ditentukan dengan ukuran-ukuran penduduk, pendapatan perkapita, latar belakang
suku bangsa, hasil pertanian,dan lain-lain.Wilayah fungsional berada di
sekeliling titik pertumbuhan dan terjalin dengan titik pertumbuhan melalui
sistem transportasi, sistem komunikasi, atau kelompok ekonomiseperti manufaktur
dan perdagangan. Contoh wilayah fungsional ialah seperti Bogor,Tanggerang dan
Bekasi adalah wilayah fungsional yang terjadi akibat perkembangankota
metropolitan Jakarta. Wilayah fungsional yang lain berskala kecil adalah
pusatperbelanjaan yang berbentuk mal atau supermarket, daerah yang dilayani
oleh sebuahbank, bandar udara, dan daerah
kegiatan yang sibuk.
2. Fenomena Geografis dalam Perwilayahan
Seiring dengan kemajuan peradaban maka muncul
tempat-tempat yang berkembangmenjadi pusat
pertumbuhan. Perkembangan tampat-tempat ini tergantung potensisumber daya yang
dimiliknya. Wilayah sekitarnya cepat atau lambat tentu akanterpengaruh sehingga akan mengalami perkembangan
juga.Fenomena geografis yang tampak di suatu wilayah dapat menjadi dasar
pertimbangandalam pembangunan perwilayahan. Fenomena geografis secara umum
dapatdibedakan menjadi dua, yaitu wilayah desa dan kota.
Perbedaan pola keruangan di pedesaan dan perkotaan,
yaitu :
a. Pola keruangan di
pedesaan
Pedesaan adalah suatu wilayah yang terdiri atas sejumlah desa yang
lokasinya didaerah belakang perkotaan. Pola keruangan pedesaan umumnya terdiri
ataspermukiman, jalan-jalan desa, daerah persawahan dengan irigasinya,
daerahtegalan dengan tanaman palawija, pekarangan dengan tanaman kelapa, dan
buah-buahan. Hutan yang tidak lebat terdiri atas tanaman akasia, karet, mahoni
ataulainnya.Dengan kata lain pola keruangan
desa masih sederhana. Pola keruangannyabermacam-macam sesuai dengan
kondisi fisiografisnya, antara lain polamemanjang jalan, pola memanjang pantai,
pola memusat, pola tersebar, dan polaradial.
b. Pola keruangan kota
Bentuknya beragam tergantung pada kondisi
fisiografis dan lingkungannya.Ruang perkotaan yang berkembang dan mengalami
pemekaran yang pesat, padaumumnya terdapat di
lokasi dataran rendah pantai. Contoh kota-kota yang terusberkembang adalah
Jakarta, Semarang, Surabnaya, Medan, Palembang, Manado,Makssar, Pontianak,
Banjarmasin dan Samarinda.Hal ini disebabkan:1) Lebih mudah dibangun jaringan
jalan darat yang lurus dan lebar2), Lebih
mudah dibangun jaringan drainase dan saluran-saluran pembuangan limbah.3), Kondisi
geologinya relatif mantap (stabil) dengan intensitas erosi nol, sehinggalebih memungkinkan dibangunnya gedung-gedung
bertingkat.4)
Prasarana dan sarana angkutan maritim hanya
mungkin dibangun di daerahpantai atau dimuara sungai yang banyak dilayari kapal
maritim.
3. Pusat-pusat Pertumbuhan
Pusat pertumbuhan merupakan suatu yang berkembang pesat khususnya
kegiatanekonominya sehingga menjadi pusat pembangunan daerah. Pusat pertumbuhan
akanmendorong perkembangan wilayah
sekitarnya, dan pusat pertumbuhan yang munculdisuatu wilayah dipengaruhi
karakteristik wilayahnya.Perkembangan pusat pertumbuhan di suatu wilayah
ditentukan oleh faktor-faktorberikut:
a.Sumber daya alam
Daerah yang mempunyai kekayaan sumber daya alam berpotensi menjadi pusatpertumbuhan, misalnya penambangan bahan tambang
yang bernilai ekonomitinggi di suatu wilayah merangsang kegiatan ekonomi,
memberikan kesempatankerja , dan meningkatkan pendapatan daerah serta
berpengaruh terhadapmunculnya kegiatan
ekonomi penunjang.
b.Sumber daya manusia
Sumber daya manusia sangat berperan dalam
pembentukan pusat pertumbuhan disuatu wilayah. Tenaga
kerja yang terampil, ahli, handal dan profesionaldibutuhkan untuk mengelola
sumber daya alam.
c. Kondisi Fisiografi/lokasi
Lokasi yang strategis memudahkan transportasi dan angkutan barang,
sehinggapusat pertumbuhan berkembang cepat. Misalnya daerah dataran rendah yangberelief rata memungkinkan pusat pertumbuhan
berkembang cepat dibandingdaerah pedalaman yang berilief kasar atau
berpegunungan.
d. Fasilitas penunjang
Adanya fasilitas penunjang akan mendukung pusat pertumbuhan uantuk terusberkembang,
contoh fasilitas penunjang diantaranya jalan, jaringan listrik,
jaringantelepon, pelabuhan laut dan udara, fasilitas air bersih, penyediaan
bahan bakar,serta prasarana kebersihan.
4. Teori-teori Pusat Pertumbuhan
a.Toeri
Polarisasi Ekonomi
Di kemukakan Guinar
Myrdal, menyatakan sertiap daerah mempunyai pusatpertumbuhan yang memiliki daya
tarik terhadap tenaga buruh pinggiran, selain itu juga terhadap tenaga
terampil, modal dan barang-barang dagangan yangmenunjang pertumbuhan suatu lokasi. Demikian terus menerus yang
akanmenyebabkan pertumbuhan makin lama makin pesat atau akan terjadi
polarisasipertumbuhan ekonomi ( popularization of economic growth).
b. Teori Kutub Pertumbuhan (growth pole concept)
Di kemukakan oleh Perroux, menyatakan bahwa kutub pertumbuhan adalah
pusat-pusat dalam arti keruangan yang abstrak, sebagai tempat memancarnya
kekuatan-kekuatan sentrifugal dan tertariknya kekuatan-kekuatan sentripetal.
Pembangunantidak terjadi secara serentak, melainkan muncul ditempat-tempat tertentu
dengankecepatan dan intensitas yang berbeda. Kutub pertumbuhan bukanlah kota
atauwilayah, melainkan suatu kegiatan
ekonomi yang dinamis tercipta di dalam dan diantara sektor-sektor
ekonomi.
c. Teori Pusat
Pertumbuhan
Di kemukakan oleh Boudeville, menyatakan bahwa pusat pertumbuhan adalahsekumpulan fenomena geografis dari semua kegiatan
yang ada di permukaanbumi. Suatu kota atau wilayah kota yang mempunyai suatu industri populasi yang kompleks, dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan. Industri populasi merupakan
industri yang mempunyai pengaruh yang besar (baik langsung maupuntidak langsung) terhadap kegiatan lain.
d.Teori Tempat Sentral
Di kemukakan Walter Christaller,teori ini
didasarkan pada lokasi dan polapersebaran permukiman
dalam ruang. Di dukung August Losch, merekamembuatkesimpulan bahwa cara yang
baik untuk menyediakan pelayananberdasarkan
aspek keruangan adalah dengan menempatkan aktivitas yangdimaksud pada hierarki
pemukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya adapada tempat yang sentral yang
memungkinkan partisipasi manusia dengan jumlahmaksimum, baik mereka yang
terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yangmenjadi
konsumen dari barang-barang yang dihasilkan.
5. Pusat-pusat Pertumbuhan di Indonesia
Perkembangan pusat-pusat pertumbuhan di
Indonesia banyak bertumpu pada sektorindustri. Sebelumnya
sektor minyak dan gas menjadi tumpuan bagi pertumbuhanwilayah, kemudian
pemerintah melalui kebijakannya mengganti sektor minyak dangas dengan sektor
industri. Diharapkan pertumbuhan ekonomi akan meningkat seiringkemajuan sektor
industri. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi berpengaruh padapeningkatan pembangunan wilayah yang berpengaruh
pula terhadap kesejahteraanpenduduk yang semakin baik. Peningkatan ini
juga akan mendorong pertumbuhan danperkembangan wialayah di sekitarnya.Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah membagi wilayahIndonesia
menjadi emapt pusat pertumbuhan dengan kota utamanya Medan, Jakarta,Surabaya
dan Makassar. Setiap pusat pertumbuhan atau regional membawahibeberapa wilayah,
dan setiap wilayah terdiri atas beberapa daerah.
E.
Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya
perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat
komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya (Misra R.P,
”Regional Development”,198
2). Pada dasarnya pendekatan pengembangan wilayah ini digunakan untuk lebih
mengefisiensikan pembangunan dan konsepsi ini tersus berkembang disesuaikan
dengan tuntutan waktu, teknologi dan kondisi wilayahnya.
Banyak cara untuk mengembangkan wilayah mulai dari penggunaan konsep (alat)
pembangunan sektoral, ”bassic need approach”, ”development poles” (poles de
croissance) yang digagas oleh F. Perroux (1955), ”growth center” yang digagas
oleh Friedman (1969) sampai kepada pengaturan ruang secara terpadu melalui
proses pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) secara sinergi dengan pengembangan
sumberdaya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan. Yang terkahir inilah yang disebut dengan penataan ruang dan sesuai Undang Undang (UU) No.24/1992 tentang penataan
ruang.
Di Indonesia, dengan keluarnya undang undang ini maka pengembangan
wilayah dilaksanakan melalui alat penataan ruang. Ruang adalah wadah berbagai
kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan, dan
mencakup ruang daratan, lautan, dan udara beserta sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk
hidup lainnya. Sedangkan Penataan Ruang (UU No. 24/92, pasal 1) mencakup proses
:
- Penyusunan rencana tata ruang,
- pemanfaatan ruang yaitu kegiatan pelaksanaan pembangunan melalui serangkaian penyusunan program pembangunan, dan
- pengendalian pemanfaatan ruang yaitu kegiatan pengawasan dan penertiban pelaksanaan pembangunan (termasuk didalamnya pemberian ijin lokasi dan investasi) agar sesuai dengan rencana tata ruang.
Rencana Tata Ruang sendiri adalah produk pengaturan Struktur dan Pola
pemanfatan ruang. Struktur mengatur sistem pusat-pusat kegiatan beserta jaringan
prasarana secara hirarkhis, dan pola pemanfaatan ruang adalah mengatur wilayah
dengan satuan-satuan (deliniasi ruang) yang fungsional sesuai dengan tujuan
rencana dan sesuai dengan kondisi daya dukung dan daya tampung sumber dayanya.
F.Perwilayahan Berdasarkan
Fenomena Geografi
Wilayah permukaan bumi terdiri atas berbagai fenomena geografis. Fenomena
geografis ini bisa dijadikan dasar untuk menentukan perwilayahan. Fenomena
geografis yang timbul di permukaan bumi muncul akibat interaksi antar manusia
dan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan bentang alam dan bentang budaya.
Peranan manusia dalam interaksi sangat menonjol.
Kota merupakan suatu fenomena geografis, yang muncul akibat interaksi
manusia dengan lingkungannya. Secara umum kota merupakan tempat bermukimnya
warga, tempat bekerja, tempat kegiatan ekonomi, pusat pemerintahan, dan pusat
kegiatan lainnya yang telah mengalami banyak kemajuan pembangunan fisik. Kota
yang telah berkembang maju mempunyai peranan yang lebih besar, antara lain :
• Sebagai pusat permukiman
(tempat tinggal) penduduk
• Pusat penumpukan
modal dan keuangan
• Pusat kegiatan
transportasi
• Pusat kegiatan
konsumsi dan produksi
• Pusat kegiatan
pemasaran dan perdagangan
• Pusat perindustrian
• Pusat kegiatan sosial
budaya.
Pada umumnya masyarakat kota lebih bersifat
individualistis, dimana kepentingan individu lebih menonjol dibandingkan sikap
solidaritas dan gotong royong. Didalam masyarakat kota, sistem pembagian kerja
sangat jelas menurut keterampilan dan keahlihan masing-masing dan umumnya
sangat mengahargai waktu. Cara berfikir dan bertindak warga kota lebih bersifat
ekonomis, lebih mengenal hukum negara dan pelaksanaan upacara-upacara adat yang
hanya berlaku di lingkungan terbatas.
Dua ahli geografi mencoba menganalisisi pola keruangan di wilayah perkotaan.
Pada tahun 1924, Burgess mengemukakan pola keruangan wilayah kota. Teori Burgess didasarkan pada penelitian dikota Chicago, Amerika Serikat. Asumsi dasar pembagian pola keruangan kota oleh Burgess adalah :
Dua ahli geografi mencoba menganalisisi pola keruangan di wilayah perkotaan.
Pada tahun 1924, Burgess mengemukakan pola keruangan wilayah kota. Teori Burgess didasarkan pada penelitian dikota Chicago, Amerika Serikat. Asumsi dasar pembagian pola keruangan kota oleh Burgess adalah :
• Kota berada di daerah
yang datar
• Sistem transportasi
di tiap lokasi bagus dan murah
• Harga tanah tertinggi
ada dipusat kota dan semakin menurun ke arah luar kota
• Bangunan tua ada di
pusat atau dekat kota
• Latar belakang kota
terdiri dari variasi etnis dan kelas sosial ekonomi
Model keruangan Hoyt di
kemukakan pada tahu 1939. Model ini berdasarkan pada pemetaan delapan variabel permukiman
untuk 142 kota di Amerika Serikat. Asumsi dasar model Hoyt hampir sama dengan model Burgess, hanya ditambah 3
faktor sebagai berikut :
• Adanya kelompok “
wealthy people “ (penduduk sejahter) yang memiliki
mobol pribadi atau
memiliki akses kendaraan umum
•Adanya lahan yang memiliki
daya tarik yang sama.
Satu hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan dengan maraknya kegiatan dikota adalah terjadinnya pemekaran kota. Semakin banyak kegiatan perekonomian di sutu kota, maka pemekaran semakin lolos. Pola pemekaran kota bisa di kategorikan menjadi 3, sebagai berikut :
Satu hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan dengan maraknya kegiatan dikota adalah terjadinnya pemekaran kota. Semakin banyak kegiatan perekonomian di sutu kota, maka pemekaran semakin lolos. Pola pemekaran kota bisa di kategorikan menjadi 3, sebagai berikut :
1) Pola konsentris
Pola ini pada awalnya
berasal dari suatu tempat yang berkembang di daerah pinggiran. Perkembangan
tersebut terjadi sebagai akibat semakin maraknya kegiatan di tempat tersebut.
Akhirnya lokasi awal tersebut menjadi pusat bisnis ban wilayah sekitarnya
menjadi wilayah pendukung.
2) Pola Sektoral
Sektor-sektor kegiatan
yang menjadi bagian dari suatu kota akan berkembang. Perkembangan setiap sektor
tersebut akan membawa dampak terhadap pola keruangan di kota.
3) Pola Pusat kegiatan Ganda
Pola seperti nini berkembang dari kondisi lingkungan
yang berbeda. Masing-masing kegiatan tersebut berkembang dan menjadi pusat
kegiatan. Kota yang berkembang dengan pola yang seperti ini, biasannya kota
yang berada di tepi pantai.
Kota dan desa di sekitarnya mempunyai hubungan timbal balik, sehingga barang-barang hasilpertanian dari desa di kirim kekota. Sebaliknya, hasil industri dari kota yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh penduduk desa dapat disalurkan.
Usaha-usaha pembangunan kota untuk mencapai keserasian dengan pembangunan pedesaan sekitarnya dilaksanakan pada berbagai bidang antara lain sebagai berikut.
Kota dan desa di sekitarnya mempunyai hubungan timbal balik, sehingga barang-barang hasilpertanian dari desa di kirim kekota. Sebaliknya, hasil industri dari kota yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh penduduk desa dapat disalurkan.
Usaha-usaha pembangunan kota untuk mencapai keserasian dengan pembangunan pedesaan sekitarnya dilaksanakan pada berbagai bidang antara lain sebagai berikut.
a. Bidang transportasi
Dalam bidang
transportasi selalu diusahakan perbaikan, pemeliharaan, dan pembangunan
jalan-jalan baru yang menghubungkan kota dengan desa disekitarnya. Dengan
demikian hasil produksi pertanian dari pedesaan mudah disalurkan kekota.
b. Bidang sarana penerangan listrik
Peningkatan pembangunan
pusat-pusat listrik di kota dapat memperluas jaringan listrik, sehingga
dimungkinkan adanya listrik masuk desa.
c. Bidang pendidikan
Pembangunan
sekolah-sekolah terutama SMA dan sekolah kejuruan di kota kecil akan bermanfaat
bagi daerah pedesaan sekitarnya.
d. Bidang industri
Peningkatan pembangunan
industri dan proyek-proyek lain di kota kecil dan kota sedang dapat menyerap
tenaga kerja dari pedesaan. Dengan demikian, pembangunan ini akan dapat
mengurangi arus urbanisasi kekota-kota besar.
e. Bidang perdagangan
Perlu dilaksanakannya
pemugaran, perluasan, dan pembangunan pasar serta pertokoan di kota. Hal
tersebut akan semakin memperlancar perdagangan ( distribusi ) hasil industri
dari kota dan hasil pertanian dari desa
f. Bidang media masa
Pembangunan sarana
media masa, seperti surat kabar, radio, dan televisi dapat meningkatkan sarana
penyuluhan dan penerangan masyarakat.
g. Bidang perkreditan
Cabang-cabang bank pemerintah maupun bank-bank
perkreditan lain terus memperluas pelayanan kepada masyarakat. Tujuannya agar masyarakat
lebih mudah memperoleh kredit sebagai tambahan modal pertanian dan usaha
produksi.
h. Bidang pelayanan kesehatan
Peningkatan pembangunan
rumah sakit umum dikota-kota ditujukan untuk memperbesar daya tampung pasien,
sehingga dapat menerima pasien dari desa dan sekitarnya.
i.Pembangunan kota kecil
disekitar kota metropolitan
Pembangunan wilayah
disekitar kota metropolitan atau pembangunan wilayah dikota satelit akan
meringankan beban permukiman di wilayah inti kota.
Studi geografi pada prinsipnya merupakan studi keruangan tentang gejala-gejala geografi. Gejala geografi yang ada di sekitar kita merupakan hasil keseluruhan interelasi keruangan faktor alam dan faktor manusia. Dari hasil studi gejala yang nyata tersebut akan terbentuk suatu pola abstrak dalam diri kita yang disebut konsep.
Pola abtrak tersebut berkenaan dengan gejala yang konkret tentang geografi dan sering disebut konsep geografi. Konsep geografi ini merupakan pola abstrak yang
Pola abtrak tersebut berkenaan dengan gejala yang konkret tentang geografi dan sering disebut konsep geografi. Konsep geografi ini merupakan pola abstrak yang dapat digunakan untuk mengungkapkan berbagai faktor, gejala, dan masalah geografi.
Diposkan oleh fenomena geografis di 03:22 0 komentar
Studi geografi pada prinsipnya merupakan studi keruangan tentang gejala-gejala geografi. Gejala geografi yang ada di sekitar kita merupakan hasil keseluruhan interelasi keruangan faktor alam dan faktor manusia. Dari hasil studi gejala yang nyata tersebut akan terbentuk suatu pola abstrak dalam diri kita yang disebut konsep.
Pola abtrak tersebut berkenaan dengan gejala yang konkret tentang geografi dan sering disebut konsep geografi. Konsep geografi ini merupakan pola abstrak yang
Pola abtrak tersebut berkenaan dengan gejala yang konkret tentang geografi dan sering disebut konsep geografi. Konsep geografi ini merupakan pola abstrak yang dapat digunakan untuk mengungkapkan berbagai faktor, gejala, dan masalah geografi.
Diposkan oleh fenomena geografis di 03:22 0 komentar
G.Pendekatan Perencanaan Pengembangan Wilayah Di Indonesia
Pengembangan wilayah merupakan upaya mendorong perkembangan wilayah melalui pendekatan komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi dan sosial (Misra R.P, Regional Development, tahun 1982). Dalam perkembangannya di Indonesia, berbagai pendekatan
telah diterapkan. Pada dasarnya, perkembangan pendekatan pengembangan wilayah
ditujukan untuk mengefisienkan pembangunan berdasarkan evaluasi pelaksanaan
pendekatan sebelumnya serta disesuaikan tuntutan dalam kurun waktu tertentu.
Pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara dapat diterapkan, mulai dari konsep pengembangan sektoral, basic needs approach sampai penataan ruang (pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan sumber daya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan berkelanjutan). Jadi, penataan ruang merupakan alat untuk mengembangkan wilayah. Oleh karenanya, pemaparan konsepsi
penataan
ruang berada dalam konteks pengembangan wilayah. Secara diagramatis, pengembangan wilayah dapat digambarkan sebagai berikut:
Tulisan
ini berupaya untuk memaparkan perkembangan pendekatan
pengembangan wilayah berdasarkan pengalaman penulis
selama berkiprah di Departemen Pekerjaan Umum (sekarang Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah). Sebagai Departemen
yang cukup tua dalam melaksanakan pembinaan pentaan
ruang dan pengembangan wilayah, departemen ini telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhad ap perumusan pendekatan
pengembangan wilayah dan mengimplementasikannya ke
dalam sistem pembangunan di Indonesia. Dalam
pembahasannya pendekatan pengembangan wilayah di
Indonesia dibagi dalam periode tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an
dan 2000-an. Untuk periode tahun 1960-an dan 1970-an, paparan
hanya sekilas, mengingat keterbatasan untuk mengidentifikasi
pendekatan yang ada pada masa itu. Paparan ini diharapkan
dapat menjadi pembelajaran guna lebih mengefisienkan pembangunan
di Indonesia masa mendatang.
Pendekatan
Periiode 1960-An
(1) Pendekatan dan Prakteknya
Pada
kurun waktu ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Sebagai negara yang baru belajar membangun, pendekatan pembangunan yang diterapkan masih terbatas dan dipengaruhi pendekatan pembangunan masa sebelumnya. Titik berat pelaksanaan pengembangan wilayah terfokus pada kawasan perkotaan, sedangkan perdesaan belum mendapat perhatian serius. Dikotomi antara pengembangan perkotaan dan perdesaan mengakibatkan primacy kota (ditandai primacy index di atas 2.0 untuk kota besar dan di atas 3.0 untuk metropolitan). Di samping
itu, kesenjangan pembangunan ekonomi dan demografi kian melebar. Hal ini dapat dimengerti, karena kawasan perkotaan menjadi magnet yang menarik untuk kegiatan investasi dan penduduk tertarik ke kawasan perkotaan.
(2) Evaluasi Praktek Pelaksanaan
Pendekatan pengembangan wilayah yang memisahkan antara pengembangan perkotaan dan perdesaan terbukti kontraproduktif terhadap pembangunan keseluruhan. Memang terjadi peningkatan kegiatan ekonomi di perkotaan, tetapi di sisi lain mengakibatkan penurunan mutu lingkungan. Di samping itu, perdesaan yang kurang terperhatikan mengakibatkan produktivitasnya menurun. Hal ini mengakibatkan beban perkotaan meningkat akibat migrasi masuk kota meninggi dan supply produksi pertanian dari perdesaan menurun.
Pendekatan
Periiode 1970-An
(1) Awal tahun 1970-an
Pengembangan wilayah mulai dipandang sebagai solusi guna mempercepat pembangunan wilayah. Meski demikian, praktek yang dilakukan masih bersifat sektoral berdasarkan kepentingan sektor masing-masing. Kewilayahan terlihat dari penerapan ekonomi geografi
(geografical
economic), seperti teori lokasi, teori resources
endowment dan teori pusat
pertumbuhan (growth pole) (Weber, 1950). Berdasarkan teori tersebut, sektor-sektor mulai menyusun kebijakan pengembangannya dalam rangka pengembangan wilayah, sebagai berikut:
1.
Sektor pertanian menerapkan pengembangan wilayah dengan menganut pembagian unit lahan berdasarkan kesesuaian lahan bagi kegiatan pertanian;
2.
Sektor pertanahan menerapkan perencanaan tata guna tanah berdasarkan penilaian kondisi dan potensi lahan;
3.
Sektor kehutanan memperkenalkan status/fungsi hutan melalui kriteria jenis tanah, kemiringan dan curah hujan/iklim;
4.
Sektor pariwisata mengembangkan kawasan wisata melalui penetapan Wilayah Tujuan Wisata (WTW) dan Daerah Tujuan Wisata (DTW);
5.
Departemen transmigrasi menetapkan perwilayahan yang dikenal dengan Wilayah Pengembangan Parsial (WPP), Satuan Kawasan Pemukiman (SKP) dan Satuan Permukiman;
6.
Praktek yang dilakukan setiap sektor pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
optimasi penggunaan ruang dan wilayah, sehingga produktivitas yang optimum
dapat tercapai dan diasumsikan terjadi efek tetesan ke bawah (trickle down effects).
(2)
Pertengahan 1970-an
Koreksi terhadap pendekatan mulai dilakukan, mengingat pendekatan pengembangan wilayah yang diterapkan
bersifat
sektoral. Selain itu, asumsi pengembangan pusat
pertumbuhan akan menetes
ke wilayah sekitarnya, terbukti kurang berjalan. Kenyataannya, pusat pertumbuhan “menghisap” wilayah
sekitarnya.
Pusat-pusat yang sudah berkembang cenderung menjadi metropolitan atau megacity. Dalam konteks itu, pendekatan ekonomi kesejahteraan (welfare economic) dengan prinsip pareto optimum yaitu pembangunan di suatu tempat tidak boleh mengurangi
kemajuan di
tempat lain, mulai jadi pegangan. optimum, alat analisis seperti backward-forward linkages,
urban-rural
linkages, shift-share analysis, input-output, Gini
coefficient, economic threshold
dan sebagainya, mulai diperkenalkan. Departemen Pekerjaan Umum menerapkan pendekatan tersebut melalui:
1.
Sistem pengembangan infrastruktur dalam pengembangan sentra-sentra produksi (Sutami, 1973), berupa pembangunan waduk, jaringan irigasi, pengembangan rawa, lahan pasang surut dan sebagainya, ditujukan mendorong intesifikasi dan ekstensifikasi pertanian;
2.
Pendekatan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (Poernomosidhi Hadjisarosa, 1976) di mana unit produksi dengan wilayah pasarnya (SWP) dihubungkan dengan sarana perhubungan. Unit produksi berkedudukan sebagai pusat wilayah pasar (urban center) dan hubungan antarpusat urban selanjutnya membentuk hirarki perkotaan nasional (system of the cities) (Ruchyat Deni Dj., 2002);
3.
Penyempurnaan pendekatan, melalui koordinasi antardaerah dan sinkronisasi program pembangunan. Mengingat pelaksanaan pembangunan dilakukan daerah, koordinasi antardaerah dalam sistem perwilayahan nasional menjadi penting (Hariri Hardy, 1974).
(3)
Evaluasi Praktek Pelaksanaan Dalam
prakteknya, perumusan program pengembangan wilayah masih didominasi oleh program pusat (sentralistis) dan sektoral, karena pelaksanaan asas desentralisasi dan integrasi
masih dikalahkan asas dekonsenterasi masing-masing sektor. Sementara itu, program daerah belum mencerminkan aspirasi masyarakat karena tindak pelibatan masyarakat masih semu (artificial).
Meski pada akhir periode ini muncul kegiatan untuk melibatkan daerah dan masyarakat, tetapi praktek yang dilaksanakan masih merupakan kegiatan pusat yang dititipkan ke daerah seperti proyek konsolidasi lahan, Kampoong Improvement Project (KIP), UDKP dan lain-lain.
Pendekatan
Periode Tahun 1980-An
(1)
Awal tahun 1980-an
Periode
awal tahun 1980-an ditandai dengan perumusan Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (NUDS, 1982) yang masih menggunakan konsep kutub pertumbuhan (growth pole) dalam proses pembangunannya. Hal ini terlihat dari klasifikasi kota berdasarkan besaran penduduk menjadi metropolitan, kota besar, kota sedang, dan kota kecil. Juga berdasarkan fungsi pelayanan yang diklasifikasikan dalam national development center (NDC), interregional development center (IRDC) dan local service center (LSC).
Pada periode ini, sebenarnya telah diperkenalkan pendekatan pembangunan (pada tahap pelaksanaan), yaitu Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT). Sayangnya, P3KT tidak dikaitkan dengan konsepsi pengembangan wilayah, kecuali dalam pemilihan kota prioritasnya. Pada dasarnya, P3KT merupakan alat implementasi rencana tata ruang kota secara individual. Alat agar kota berkembang sesuai tata ruang kota melalui program pembangunan prasarana kota terpadu. P3KT tidak terkait dalam struktur makro sistem kota-kota, tidak ada hubungan timbal balik dengan kota utama (primer) dan kota-desa secara hierarkis dan
sistematis.
Padahal, dalam pertumbuhannya, kota harus berinteraksi, mustahil individual.
Pada periode ini, juga dikenalkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), ditandai pemberlakuan UU No.4/1982 tentang “Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Keppres No. 32/1990 tentang “Kriteria dan Pola Pengelolaan Kawasan Lindung” dan beberapa peraturan mengenai analisis dampak lingkungan. Selain
itu, mulai dikenalkan pendekatan wilayah fungsional yang merupakan kesatuan ekosistem (ecological system) untuk pengelolaan sungai dan pengairan. Hal ini terlihat dari pengembangan Satuan Wilayah Sungai (SWS) dan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) sebagai wilayah unit pengembangan dan manajemen sumber daya air. “satu sungai satu rencana dan satu
manajemen”.
(2)
Pertengahan tahun 1980-an
Sebagai kritik terhadap sistem pemerintahan sentralistik yang mengakibatkan ketidakefisienan pembangunan, mulai dikenalkan desentralisasi perencanaan. Untuk mendukung proses ini, Departemen Pekerjaan Umum menetapkan peraturan perundangan, yaitu PP No. 14/1987 tentang “Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang ke-PU-an kepada Daerah”, termasuk penyerahan urusan rencana tata ruang yang merupakan bagian bidang Cipta Karya. Implikasinya, perlu pemberdayaan daerah di bidang perencanaan.
Kegiatan yang dikerjakan, antara lain, pembentukan unit perencanaan di daerah, penyusunan NSPM dan pedoman teknis penataan ruang serta sosialisasi produk hukum terkait. Untuk mengurangi penataan ruang yang terlalu normatif, tertutup, supply driven atau hanya menampung visi perencana, dikenalkan pendekatan dinamis, partisipatif dan tanggap terhadap dinamika masyarakat serta melibatkan kepentingan stakeholders, didukung pengembangan sistem informasi penataan ruang dan sistem informasi geografis. Untuk melengkapi pendekatan sektoral, rencana tata ruang ditegaskan dalam dokumen rencana pembangunan (Buku Repelita IV dan V).
(3)
Evaluasi Praktek Pelaksanaan
Dalam prakteknya, ada beberapa kelemahan dalam menerapkan pendekatan itu. Penyusunan P3KT sebagai implemtasi Strategi
Nasional Pembangunan Perkotaan (NUDS) kerap hanya mencakup prasarana
keciptakaryaan dan seolah terlepas dari pembangunan prasarana perkotaan lain,
tidak terkait dalam sistem pengembangan wilayah terpadu. Hal ini barangkali
menjadi kelemahan konsep P3KT. Dalam penerapan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), muncul kesulitan mengintegrasikan pendekatan pembangunan berdasarakan wilayah administrasi dan wilayah fungsional. Program masih bersifat
sektoral dan daerah. Selain itu, kebijakan untuk melaksanakan pendekatan
ini masih bersifat makro dan normatif sehingga sulit dilaksanakan.
Pendekatan
Periiode Tahun 1990-An
(1).Awal tahun 1990-an
Kebijakan pembangunan nasional awal tahun 1990-an menekankan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, peningkatan desentralisasi, peranserta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan, pengembangan kawasan strategis dan pembangunan berkelanjutan yang dilandasi Agenda-21 Rio de Janeiro. kebijakan tersebut antara lain dilaksanakan melalui
peberlakuan
PP No. 45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah
dan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. Pendekatan wilayah dalam perencanaan tata ruang wilayah mengalami pendalaman dan perluasan cakupan. Dalam prosesnya, penataan ruang melakukan tinjauan komprehensif tentang wilayah, seperti penduduk, sumber daya alam, sumber daya buatan, sosial, ekonomi, fisik, serta merumuskan tujuan, sasaran dan target pengembangan wilayah. Analisisnya menggunakan model dari berbagai disiplin ilmu. Hasil kegiatan dituangkan dalam spatial plan atau rencana tata ruang.
Menurut undang-undang tersebut, penataan ruang adalah alat untuk menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan serta menjamin kegiatan ekonomi masyarakat dan wilayah. Dengan kata lain, penataan ruang adalah alat untuk menjamin pengentasan kemiskinan (berorientasi kepada masyarakat banyak) serta merupakan arahan kebijakan dan strategi spasial
untuk keterpaduan program lintas sektor dan lintas wilayah. Pada periode ini dikenal hirarki Sistem Perencanaan Tata Ruang, yaitu:
1.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatann ruang wilayah nasional, disusun pemerintah pusat dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP);
2.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah provinsi, disusun pemerintah provinsi dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda);
3.
Rencanan Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota) yang merupakan
penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam strategi dan struktur pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten/kota, disusun pemerintah kabupaten/kota dan ditetapkan
dengan Perda kabupaten/kota.
4.
Rencana-rencana rinci yang merupakan rencana detail dan teknis untuk kawasan-kawasan pada bagian wilayah kota atau kabupaten, sebagai implementasi dari perencanaanperencanaan strategis tersebut.
(2)
Akhir tahun 1990-an
Perkembangan teknologi informasi memicu tuntutan terhadap transparansi, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, desentralisasi dan otonomi daerah serta penghargaan terhadap HAM di Indonesia. Di samping itu, pembangunan yang terlalu
sentralistik
dan birokratis menimbulkan permasalahan baru, yaitu
kurangnya
kesadaran masyarakat akan peran mereka dalam
pembangunan dan menurunnya
peran swasta dan dunia usaha dalam investasi. Situasi itu mendorong reorientasi dan transformasi perencanaan wilayah melalui penyederhanaan proses, pembangunan. Selain itu, rencana pembangunan (rencana pemanfaatan ruang) perlu dituangkan dalam rencana tindak (action plan) yang harus mampu memecahkan persoalan yang bersifat strategis serta memanfaatkan competitive advantage di kawasan tersebut. Di Indonesia, action plan mengadopsi dan mengadapatasi model yang mendukung ilmu manajemen di kalangan bisnis, sehingga sering disebut perencanaan strategis (strategic plan).
Dalam pelaksanaannya disebut manajemen strategis (strategic management). Implementasi
perencanaan strategis, ditandai penyusunan “kawasan andalan” serta sektor unggulan sebagai prime-mover dalam pengembangan kawasan. Model kawasan andalan pertama kali dikembangkan adalah model KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) yang didasarkan pada penggabungan pendekatan strategic planning dan strategic management yang dikenal dengan pendekatan IDEP (Integrated Area Development Plan). Selain itu, untuk mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat, ditetapkan PP No. 20/1994 tentang “Perubahan Pemilikan Saham dalam Rangka Penanaman Modal Asing”, paket deregulasi dan debirokratisasi dan PP No.69/1996 tentang “Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tatacara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang”.
Periode tahun 1990-an diakhiri turbulensi ekonomi dan politik yang dipicu krisis moneter dan melahirkan reformasi hukum dan perundangan, reformasi ekonomi dan reformasi sistem pemerintahan dengan ditetapkannya UU No. 22/1992 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25/ 1999 tentang Perimbangan Keuangan dan UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
(3)
Evaluasi Praktek Pelaksanaan
Terlalu dini menyatakan gagal atau berhasil terhadap pendekatan penataan ruang yang dilaksanakan pada periode ini. Pendekatan pembangunan yang dilaksanakan seperti KAPET dan penyusunan strategic plan baru saja dilaksanakan. Meski demikian, seiring pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, pendekatan tersebut butuh banyak penyesuaian. Program pengembangan KAPET tidak dapat dipisahkan dari kewenangan daerah dalam mengembangkan wilayahnya. Dalam hal ini, keterlibatan unsur daerah seperti pemerintah daerah, DPRD, masyarakat, LSM, organisasi profesi, organisasi massa dan swasta, tidak dapat dikesampingkan.
Pendekatan
Periode Tahun 2000-An
Pendekatan wilayah telah mengalami penyesuaian dalam penerapannya hingga terbentuk paradigma baru pengembangan wilayah/kawasan di era otonomi ini. Dalam paradigma baru ini, penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up approach) dan penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) disiapkan pemerintah daerah bersangkutan dengan mengikutsertakan masyarakat (public participation). Alternatif pengganti perencanaan di era otonomi ini adalah penataan ruang wilayah/ kawasan yang mempunyai konsep dan karakteristik berikut:
_ Pendekatan bottom-up
dan melibatkan semua pelaku pembangunan;
_ Transparan dalam
perencanaan, implementasi dan pengendalian;
_ Memberi perhatian
besar pada tuntutan jangka pendek;
_ Realistis terhadap tuntutan dunia usaha dan masyarakat;
_ Berwawasan luas,
dengan perhatian pada kawasan lebih detail;
_ Rencana dapat
dijadikan pedoman investasi;
_ Menjaga dan meningkatkan mutu lingkungan sambil mendorong dan memfasilitasi pembangunan;
_ Mempunyai visi pembangunan dan manajemen pembangunan (applicable).
H. Konsep
Pembangunan Berkelanjutan
Definisi
konsep pembangunan berkelanjutan diinteprestasikan oleh beberapa ahli
secara berbeda-beda. Namun demikian pembangunan berkelanjutan sebenarnya
didasarkan kepada kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus meningkat.
Kondisi yang demikian ini membutuhkan suatu strategi pemanfaatan sumberdaya
alam yang efesien. Disamping itu perhatian dari konsep pembangunan yang
berkelanjutan adalah adanya tanggungjawab moral untuk memberikan kesejahteraan
bagi generasi yang akan datang, sehingga permasalahan yang dihadapi dalam
pembangunan adalah bagaimana memperlakukan alam dengan kapasitas yang terbatas
namun akan tetap dapat mengalokasikan sumberdaya secara adil sepanjang waktu
dan antar generasi untuk menjamin kesejahteraannya. Penyusutan yang terjadi
akibat pemanfaatan masa kini hendaknya disertai suatu bentuk usaha
mengkompensasi yang dapat dilakukan dengan menggali kemampuan untuk mensubstitusi
semaksimal mungkin sumberdaya yang langka dan terbatas tersebut sehingga
pemanfaatan sumberdaya alam pada saat ini tidak mengorbankan hak pemenuhan
kebutuhan generasi yang akan datang (intergenerational equity).
Definisi
Pembangunan berkelanjutan menurut Bond et al. (2001) pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional
untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang dimana
pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan saling memperkuat dalam
pembangunan. Bosshard (2000) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
pembangunan yang harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu: (1)
abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi,
dan (5) ekonomi. Marten (2001) mendefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang.
Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi,
karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada keterbatasan
kapasitas sumberdaya alam yang ada. Selain itu ada pula beberapa pakar yang
memberikan rumusan untuk lebih menjelaskan makna dari pembangunan yang berkelanjutan, antara lain (Abdurrahman,
2003) :19
1. Emil Salim
Pembangunan berkelanjutan
atau suistainable development adalah suatu proses pembangunan
yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam, dan sumberdaya
manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam
pembangunan (Yayasan SPES, 1992 :3)
Ada
beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan
berlanjut ini, yaitu :
a.
Proses pembangunan ini mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di
topang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang
secara berlanjut.
b. Sumber
alam terutama udara, air, dan tanah memiliki ambang batas, diatas mana
penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan
ini berarti berkurangnya kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang
pembangunan secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan
pada keserasian sumber alam dengan daya manusia.
c.
Kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik
kualitas lingkungan, semakin positif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang
antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan hidup,
pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya.
d.
Pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan
kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi
masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
2. Ignas Kleden
Pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang disatu pihak mengacu pada
pemanfaatan sumber0sumber alam maupun sumberdaya manusia secara optimal,
dan dilain pihak serta pada saat yang sama memelihara keseimbangan optimal
di antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumberdaya
tersebut ( yayasan SPES, 1992 : XV)
3. Sofyan
Effendi
a.
pembanguna berkelanjutan adalah pembangunan yang pemanfaatan sumberdayanya,
arah invesinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan
kelembagaanya dilakukan secara harmonis dan dengan amat 20 memperhatikan
potensi pada saat ini dan masa depan dalam pemenuhan kebutuhan
dan aspirasi masyarakat
b.
Secara konseptual, pembangunan berkelanjutan sebagai transformasi progresif
terhadap struktur sosial, ekonomi dan politik untuk meningkatkan kepastian
masyarakat Indonesia dalam memenuhi kepentingannya pada saat ini
tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kepentingannya. Konsep
pembangunan yang berkesinambungan memang mengimplikasikan batas,
bukan batas absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan
organisasi sosial sekarang ini mengenai sumberdaya lingkungan serta oleh kemampuan
biosfer menyerap pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi
untuk memberi jalan bagi era baru pertumbuhan ekonomi Dalam
definisi diatas dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
didirikan atau didukung oleh 3 pilar, yaitu: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga
pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi
saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Secara skematis, keterkaitan
antar 3 komponen dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut (Munasinghe-Cruz,
1995).
Dimensi
Pembangunan Berkelanjutan
Munasinghe
(1994) menyatakan bahwa pendekatan ekonomi dalam pembangunan yang berkelanjutan
bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia melaluyi pertumbuhan
ekonomi dan efesiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala
sumberdaya serta keterbatasan teknologi. Peningkatan output
pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian ekologi
dan sosial sepanjang waktu dan memberikan jaminan kepada kebutuhan dasar
manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan. Usaha yang dapat
dilakukan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan adalah dengan melakukan
analisis biaya manfaat atau suatu proyek pembangunan. Perencanaan pembangunan
hendaknya dilakukan secara komprehensip dengan memperhatikan tujuan-tujuan
jangka panjang. Selain itu yang dapat dilakukan untuk mengurangi eksploitasi
sumberdaya secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin ditimbulkan
dari eksploitasi sumberdaya tersbut adalah memberikan harga kepada sumberdaya
(pricing) dan biaya tambahan (charges).
Jadi
sasaran ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan adalah peningkatan ketersediaan
dan kecukupan kebutuhan ekonomi, kelestarian aset yaitu efesiensi dalam
pembangunan sumberdaya dengan pengelolaan yang ramah lingkungan dan tetap
memperhitungkan keadilan bagi masyarakat baik saat ini maupun generasi yang
akan datang. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak hanya
mengejar efesiensi dan pertumbuhan yang tinggi saja tanpa memperhatikan aspek
sosial dan lingkungan. Pandangan ekologis didasarkan kepada pertimbangan bahwa
perubahan lingkungan akan terjadi di waktu yang akan datang dan dipengaruhi
oleh segala aktifitas manusia.
Para ahli sosiologi memberikan pandangan yang berbeda dengan ahli ekonomi
dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dikemukakan oleh
Cernea (1994) bahwa pembangunan berkelanjutan adalah menekankan kepada
pemberdayaan organisasi sosial masyarakat. Penekanan pandangan para sosiolog
tersebut terletak kepada manusia sebagai kunci keberhasilan pembangunan
melalui pemberdayaan organisasi sosial kemasyarakatan yang berkembang.
Pemberdayaan organisasi sosial kemasyarakatan ditujukan untuk pengelolaan
sumberdaya alam dengan memberikan motivasi yang mengarah kepada
keberlanjutan. Pendekatan partisipatif masyarakat dalam pembangunan 22 dilakukan
dengan menciptakan kesadaran masyarakat pada peningkatan kemampuan sumberdaya
manusia, penghargaan terhadap bentuk kelembagaan dan organisasi sosial
masyarakat sebagai satu sistim kontrol terhadap jalannya pembangunan,
pengembangan nilai-nilai masyarakat tradisional yang mengandung keutamaan dan
kearifan, meningkatkan kemandirian dan kemampuan masyarakat dengan
berorganisasi. Dengan demikian faktor sosial dalam pembangunan yang berkelanjutan merupakan
salah satu faktor yang tidak kalah penting apabila dibandingkan dengan faktor
ekonomi dan ekologi. Bukti-bukti menjelaskan bahwa proyek pembangunan yang
kurang memperhatikan faktor sosial kemasyarakatan akan menjadi ancaman bagi
keberhasilan proyek atau program pembangunan yang dilaksanakan karena tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya.
Menurut
Serageldin (1994) Tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
memiliki hubungan dengan tujuan lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan
pembangunan tidak akan tercapai apabila tidak didukung oleh kondisi lingkungan
hidup yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan
akan terhambat apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat penuh dengan
ketidak pastian. Disamping itu pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan
efesiensi penggunaan sumberdaya dan kelestarian alam akan menyebabkan degradasi
alam yang tidak dapat pulih kembali, sehingga usaha yang dapat dilakukan adalah
dengan efesiensi penggunaan sumberdaya alam dan juga memberikan penilaian
terhadap lingkungan dengan mengevaluasi dampak lingkungan yang ditimbulkannya.
Karena bagaimanapun proses pembangunan yang berjalan
sedikit ataupun banyak akan menimbulkan eksternalitas negatif dimana masyarakat
yang akan merasakan akibat dari kerusakan tersebut. Masyarakatlah yang
menanggung beban berupa biaya – biaya sosial yang harus ditanggung baik oleh
masyarakat saat ini maupun generasi yang akan datang.
Hal
yang terpenting adalah bagaimana pemahaman mengenai pembangunan
dimulai dari pendekatan kepada berhasil atau tidaknya pembangunan itu
mengurangi kemiskinan. Bagaimana pertumbuhan
ekonomi berperan dan bagaimana proses pertumbuhan itu dipengaruhi oleh semakin
berkurangnya sumberdaya dan makin meningkatnya biaya lingkungan. Langkah
selanjutnya yang harus menjadi pertimbangan global adalah bagaimana menemukan
cara yang efektif 23 sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat sekaligus
memecahkan masalah kemiskinan tanpa membahayakan lingkungan atau menurunkan
kualitas sumberdaya alam untuk generasi ayang akan datang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perencanaan kota dan wilayah
menggunakan ilmu geografi untuk membantu mempelajari bagaimana membangun (atau
tidak membangun) suatu lahan menurut kriteria tertentu, misalnya keamanan,
keindahan, kesempatan ekonomi, perlindungan cagar alam atau cagar budaya, dsb.
Perencanaan kota, baik kota kecil maupun kota besar, atau perencanaan pedesaan
mungkin bisa dianggap sebagai geografi terapan walau mungkin terlihat lebih
banyak seni dan pelajaran sejarah. Beberapa masalah yang dihadapi para
perencana wilayah diantaranya adalah eksodus masyarakat desa dan kota dan Pertumbuhan
Pintar (Smart Growth).
Pengembangan wilayah dikembangkan
pada sekitar tahun 1980-an oleh para Geografiwan Eropa, terutama dari
Nederland. Saat kerjasama Universitas antar kedua negara dilakukan, sejumlah
ahli Geografi asal Belanda ikut serta dalam program pencangkokan dosen di UGM.
Hasilnya adalah lahirnya program studi baru bernama Program Studi Perencanaan
Pengembangan Wilayah. Sebelum berdiri menjadi disiplin tersendiri yang memadukan
Ilmu Geografi dengan Ilmu Perencanaan Wilayah, proyek ini dikenal dengan nama
Rural and Regional Development Planning (RRDP).
Pada tahun 1950-an, gerakan ilmu wilayah muncul, dipimpin oleh Walter Isard untuk menghasilkan lebih banyak dasar kuantitatif dan analitis pada masalah geografi, sebagai tanggapan atas pendekatan kualitatif pada program geografi tradisional. Ilmu wilayah berisi pengetahuan bagaimana dimensi keruangan menjadi peran penting, seperti ekonomi regional, pengelolaan sumber daya, teori lokasi, perencanaan kota dan wilayah, transportasi dan komunikasi, geografi manusia, persebaran populasi, ekologi muka bumi dan kualitas lingkungan.
Konsep pengembangan wilayah
dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan
antar wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan
ini. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Wilayah adalah
sebuah daerah yang
dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada masa
lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas kondisi fisik
alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme,
batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah tersebut, dan
berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah yang lebih umum digunakan
adalah batas nasional.
Konsep
wilayah
Dengan menggunakan pendekatan regional, maka wilayah
dibedakan menjadi:
- Wilayah Formal
Merupakan suatu wilayah yang
dicirikan berdasarkan keseragaman atau homogenitas tertentu. Oleh karena itu,
wilayah formal sering pula disebut wilayah seragam (uniform region).
Homogenitas dari wilayah formal dapat ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau
alam ataupun kriteria sosial budaya. Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik
didasarkan pada kesamaan topografi, jenis batuan, iklim dan vegetasi. Misalnya
wilayah pegunungan kapur (karst), wilayah
beriklim dingin, dan wilayah vegetasi mangrove. Adapun
wilayah formal berdasarkan kriteria sosial budaya seperti wilayah suku Asmat, wilayah industri tekstil, wilayah Kesultanan Yogyakarta, dan wilayah pertanian sawah basah.
- Wilayah Fungsional
Merupakan suatu wilayah yang di
dalamnya terdapat banyak hal yang diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang satu
sama lain saling berhubungan misalnya kota terdapat berbagai pusat kegiatan
mulai dari CBD, perkantoran, pasar dan
seterusnya yang satu sama lain dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Wilayah
fungsional lebih bersifat dinamis dibandingkan dengan wilayah formal.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar