Minggu, 20 Mei 2012

Pendidikan Multikultural




Pendidikan Multikultural

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan  sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi  ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.


Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat  yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.

 2. Paradigma Baru Pendidikan Multikultural
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma [paradigma shift] dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.

Arah perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu, Pertama, paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada : sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, karena pendidikan didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah. Kedua, paradigma baru, orientasi pendidikan pada: disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha, lemabag-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia.

   3. Pendekatan Pendidikan Multikultural
Menurut David Westmeier (dalam tulisan “online”-nya yang berjudul “A Basic Philosophy of Multicultural Education and its Application to the Classroom”, 11 Desember 1995) Hilda Hernandez dalam bukunya yang berjudul “Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Content and Process” menyebutkan bahwa Sleeter dan Grant, dua orang guru pendidikan multikultural (multicultural education’s “gurus”) mengemukakan ada lima pendekatan pendidikan multikultural.
Makna dari pendekatan pendidikan multikultural adalah bahwa dalam memaknai dan melaksanakan pendidikan mutlikultural itu ada beberapa mazhab, aliran, atau paham, yang  pelaksanaannya menjadi seperti apa yang dipahami     tersebut.
Pendekatan pertama, menurut analisis Sleeter dan Grant, disebut pendekatan “teaching the culturally different” (mengajar mereka yang berbeda budaya). Maksudnya mengajarkan kebudayaan tertentu kepada mereka yang tidak berkebudayaan seperti itu, atau yang berlainan budaya. Dalam hal ini yang menjadi sasaran pendidikan multikultural adalah orang-orang yang tergolong minoritas, mereka yang jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di lingkungan mayoritas, yang jumlahnya jauh lebih banyak, yang mempunyai kebudayaan yang berbeda dari yang mayoritas itu. Tujuan (isi) pendidikan multikultural dalam hal ini adalah mengajari mereka (kaum minoritas tersebut) kebudayaan kelompok mayoritas, sehingga mereka memiliki kompetensi (pengetahuan, nilai, dan kecakapan lain) dari kebudayaan mayoritas tersebut. Jadi, tujuan mendasar pendidikan multikultural menurut pendekatan ini adalah agar kaum minoritas bisa hidup sesuai dengan budaya.

Pendekatan kedua disebut pendekatan “human relations” (hubungan insani, pergaulan kemasyarakatan). Sasaran pendidikan multikultural dengan pendekatan ini adalah mereka yang hidup dalam lingkungan sosial tempat banyak terjadi kontak (hubungan sosial) antar budaya (“intercultural contact”). Maksudnya, di dalam masyarakat itu banyak terjadi kontak sosial antar warga yang beragam etnis dan budayanya. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, pendidikan multikultural akan sangat tepat diselenggarakan di perkotaan besar di mana warganya terdiri dari berbagai etnis, dan yang dalam kehidupan kesehariannya akan memunculkan beragam kontak budaya. Kontak-kontak antar etnis yang memiliki budaya berbeda itu dapat memunculkan berbagai gesekan atau pertikaian (konflik). Tujuan utama pendidikan mutlikultural adalah mencegah terjadinya konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang etnis dan budaya tersebut.

Tidak dijelaskan oleh Sleeter dan Grant apa isi atau bentuk pendidikan multikultural dengan pendekatan ini. Namun demikian dpat diduga bahwa isinya adalah saling mempelajari budaya-budaya yang berbeda tersebut agar satu sama lain saling mengakui, saling memahami, dan saling menghargai.

Pendekatan ketiga, menurut Sleeter dan Grant, disebut pendekatan “kajian etnis” (“ethnic studies”). Konkritnya (penjelasan dari Penulis) ada bidang studi atau mata pelajaran yang berbunyi “Kajian etnis dan budaya Cina-Amerika, “Kajian etnis dan budaya Afro-Amerika,” ada pula “Kajian etnis dan budaya kulit hitam,” dan sebagainya. Yang menjadi sasaran pendidikan mutikultural ini siapa saja yang berminat tentangnya, dan tujuannya adalah mengenalkan budaya-budaya khas tertentu. Kelemahannya adalah dapat terjadi ada murid yang mempelajari budayanya sendiri (kulit hitam mempelajari budaya kulit hitam). Jarang terjadi murid mempelajari budaya orang (etnis) lain.

Pendekatan ini pada dasarnya juga mengenalkan berbagai budaya, walau bersifat sukarela, menurut siapa berminat apa, agar salingpaham, saling mengakui, dan saling menghargai.

Pendekatan keempat, agak “antik” namanya, karena disebut dengan “pendidikan multikultural.” (“Antik” karena pendidikan multikultural, pendekatannya juga pendidikan multikultural). Yang menjadi sasaran pendekatan ini adalah semua murid (bukan hanya yang berminat seperti pada pendekatan ketiga). Agar mudah memahami pendekatan ini, Penulis tambahkan paparan berikut.

Dengan pendekatan ini, semua murid, tanpa kecuali, mempelajari berbagai ragam kebudayaan (“multi cultures“). Jadi, isi pendidikan multikultural ini adalah multikultur, karenanya disebut “pendekatan pendidikan multikultural”. Tujuan pendekatan ini adalah mengedepankan hak asasi manusia (semua orang mempunyai hak-hak secara kodrati sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi), menghargai perbedaan (bahwa adanya perbedaan etnis dan budaya tidak harus menjadikan sesuatu pihak menganggap diri lebih tinggi dan menganggap yang lain lebih rendah), dan tanggap serta mau ikut terlibat mengatasi masalah-masalah kesetaraan (kesejajaran kemanusiaan kendati berbeda ras, warna kulit, dan budaya).

Pendekatan kelima versi Sleeter dan Grant disebut dengan pendekatan “education that is muticultural and socially reconstructive” (pendidikan yang bersifat multikultural dan yang merekonstruksi tatanan kemasyarakatan). “Merekonstruksi” maksudnya menata ulang, menyusun ulang, atau membangun kembali (merubah yang ada menjadi berbeda).

 4. Pendidikan Berbasis Multikultural
Pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.

Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

5. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia

Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki permasalahan sosial yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.

Krisis ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.

Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Hal ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.

Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.

Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

0 komentar:

 
Copyright (c) 2010 Teach Geograf. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.